Minggu, 28 November 2010

Etika Dalam Daoisme (Taoisme)


            Di dalam tulisan Lao Tzu, Sebagian besar diantaranya diringkas ke dalam perbedaan antara pasivitas dan aktivitas, antara kelembutan dan kekerasan, dan antara kompetisi dan kesabaran. Ia kemudian berpendapat, bahwa pasitivitas itu lebih menguntungkan daripada aktivitas. Kelembutan lebih berguna daripada kekerasan, dan kesabaran lebih berguna daripada kompetisi. “Memahami kemuliaan”, demikian tulisnya, “tetapi sekaligus menjaga kerendahatian, memahami yang putih tetapi juga menjaga yang hitam.” Karena orang mudah sekali jatuh ke dalam hal-hal yang berlawanan dari yang diinginkannya, maka adalah lebih baik bagi setiap orang, jika ia mulai dengan hal-hal yang tidak diinginkannya, lalu bergerak ke hal-hal yang diinginkannya. “Untuk memperoleh sesuatu”, demikian Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama memberi.” Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus pertama-tama memulai dengan yang berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan demikian, esensi dari pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan dari titik yang secara diametral bertentangan dengan tujuan itu.”
Dari kesimpulan di atas, kita bisa menarik poin bahwa inti dari etika Taoisme yang ditawarkan oleh Lao Tzu adalah wu-wei, yang dalam bahasa Cina secara literer berarti xiaogan (tidak adanya tindakan). Hal ini tidak berarti bahwa orang murni tidak melakukan apapun secara mutlak. “Wu-wei”, dengan kata lain, wu-wei berarti pembatalan dan sekaligus pembatasan tingkah laku manusia, terutama tingkah laku di dalam dunia sosial. Ada beberapa tingkatan wu-wei di dalam Taoisme, mulai dari wu-wei sebagai tidak melakukan apapun, melakukan tindakan seminimal mungkin, tindakan pasif ke dalam dunia sosial, sikap menunggu perubahan alami dari hal-hal yang ada, dan yang terakhir ini sering juga disebut sebagai bertindak alami (acting naturally). Etika wu-wei adalah etika non-tindakan. 

Lao Tzu sendiri sangat yakin, bahwa wu-wei akan dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. “Semakin besar hukum dan tatanan diberlakukan”, demikian tulisnya, “maka semakin banyak pencuri dan perampok, oleh karena itu seorang bijak akan berkata: saya tidak bertindak apa-apa dan orang itu sendiri akan berubah.” Lawan dari sikap wu-wei adalah yu-wei, atau apa yang disebut sebagai bertindak. Yu-wei ini menciptakan hukum dan tatanan, serta dengan itu juga menciptakan para pencuri dan orang-orang yang melanggar tatanan. Sementara kontras dengan itu, wu-wei menciptakan kemakmuran bersama, harmoni, dan kedamaian. “Sebuah kerajaan”, demikian tulis Lao Tzu, “seringkali diberikan kepada orang yang tidak melakukan tindakan. Jika orang melakukan tindakan, maka ia tidak cukup memadai untuk memenangkan sebuah kerajaan.” Kehidupan yang ideal hanya dapat dicapai, jika orang menerapkan etika wu-wei ini di dalam hidupnya.
 Dengan menerapkan wu-wei di dalam hidupnya, orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan kelembutannya. Inilah keuntungan dari sikap wu-wei. “Hal yang paling lembut di dunia”, demikian Lao Tzu, “dapat melampaui hal yang paling keras di dunia melalui inilah saya mengetahui keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.” Di dalam dunia manusia, menurutnya, negara-negara yang kuat dapat dengan mudah mendeklarasikan sebuah perang. Akan tetapi pada akhirnya, negara-negara yang lebih lemahlah yang akan menang. Ini adalah kebenaran yang nyata, bahwa kelemahlembutan dapat melampaui kekerasan. Walaupun begitu nyata, tetapi orang begitu cepat lupa dengan hal ini, sekaligus begitu sulit untuk mempertahankan kesadaran semacam ini.
Dalam Daoisme dikenal tiga kebajikan utama (The Three Jewels) yang masing-masing adalah kasih sayang (compassion), sikap tidak berlebihan (moderation), dan kesahajaan (humality).
Kita sering kali ingin mempelajari segala sesuatu di alam semesta ini. Namun pandangan Daoisme adalah bagaimana mungkin otak yang hanya beberapa kubik dapat menampung seluruh pengetahuan tentang alam semesta yang begitu besar ini? Kebenarannya ialah otak hanya mampu menyimpan hal-hal yang dapat membuat manusia bertahan terhadap alam, dan mungkin diberikan potensi tambahan untuk dapat menikmati hidup yang bahagia dan mengejar mimpi dan aspirasi kita. Manusia tidak perlu mengontrol alam. Sama seperti dirimu tidak perlu dikontrol oleh orang lain, hanya dirimu sendiri yang mengontrolnya. Demikian juga alam tidak perlu diatur oleh manusia, maka hendaknya manusia tidak berkuasa mengubah-ubah kondisi alam. Alam memiliki aturannya sendiri.
Sikap tidak berlebihan (moderation) di sini sangat terkenal dengan Wu Wei. Wu Wei diasosiasikan air yang bersifat mengalir jika tempat hadirnya diganggu. Air itu lembut dan lemah, tetapi dapat memindahkan daratan dan mengikis batuan. (Kusumohamidjojo, 2010, hal. 156).  Arti harafiah dari Wu Wei itu sendiri adalah ‘tanpa tindakan’. Daosime sangat menjunjung tinggi hal ini. Saat ada hukum maka akan banyak kejahatan atau tindak kriminalitas. Jadi lebih baik diam dan semuanya akan berubah.
Wu-Wei sangat menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas, sikap mengalah, dan ketenangan. Lao Tzu berkeyakinan bahwa Wu Wei dapat menciptakan keharmonisan masyarakat. Di dalam pandangan filsafat Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan kekacauan. (http://rezaantonius.wordpress.com/2010/07/07/etika-taoisme-memperkenalkan-filsafat-taoisme/).
Dalam pandangan Kristen hal ini sangat berlawanan, di mana harus lah ada hukum yang mengatur seluruh tatanan masyrakat. Bahkan saat Tuhan memerintah Israel secara langsung, Tuhan memberikan 10 Hukum Allah bagi bangsa Israel. Tuhan juga tidak diam saja saat Israel ada dalam perjalanan di padanag gurun dan dalam peperangan.
Humility memiliki arti melakukan pekerjaanmu dengan tidak dipengaruhi hal-hal dari luar. Ini berarti mengerjakan bagian hidupmu dari waktu ke waktu. Kesuksesan terjadi setiap saat kamu melakukan hal ini, Ini bukanlah sesuatu yang dapat terjadi saat kamu melakukan lebih dari itu.  Karena dia mengisi dengan dirinya sendiri, dia tidak membutuhan tambahan lain. Karena dia menerima dirinya sendiri, maka seluruh dunia menerimanya. (Tao Te Ching (Mitchell translation), Chapter 30).
Jika mengkritisi dari apa yang diungkapkan di atas maka Daoisme tidak menerima orang lain atau hal lain untuk kepenuhan dirinya. Daoisme mencukupkan dirinya dengan dirinya sendiri. Prinsip ini bertentangan dengan nilai Kekristenan. Sebagai orang percaya, kita membutuhkan orang lain. Alkitab mengatur beberapa hal untuk saling mengasihi sesama manusia. Dan lebih daripada itu, manusia membutuhkan Tuhan yaitu keselamatan dari Tuhan.


Referensi:
K. Budiono. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar Komprehensif. Alasutra: Jogjakarta.
Retrieved on 25 november 2010 from
retrieved on 25 November 2010 from

Tidak ada komentar:

Posting Komentar