Minggu, 28 November 2010

Prakata


Syalom…
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas rahmat dan anugerahnya blog ini dapat selesai dengan tepat waktu dan dapat dipublikasikan kepada khalayak ramai. Adapun tujuan dari blog ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi Philosophy. Tim yang bekerja dalam blog ini adalah kelompok 4, yaitu: Nonic Monica Ayu, Novita Juwita Sari, Paskalis Fofid Rahangiar, Perhatian Ndruru, Priska Ayu, Ririn Ayu Ningrum, Ronald Renaldy R, Sherly Talarima, Theo Christian, Wira Franzdes Simarmata, WIra Rombe.
Filsafat merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Filsafat menentukan jaman dan pola pikir manusia. Dalam filsafat, bumi dibagi menjadi dua bagian yaitu barat dan timur. Dalam kesempatan ini kami akan membahas salah satu filsuf dari timur yang cukup terpandang di jamannya dan mempengaruhi banyak orang yaitu Lao Tzu. Lao Tzu (Tionghoa: 老子, pinyin: Lǎo Zǐ) merupakan ahli filsafat yang terpopuler dan juga merupakan pendiri Taoisme (Tionghua: 道教 atau 道家) kini. Riwayat hidupnya tidak banyak terdapat dalam catatan historis, tetapi kewujudannya terbukti dalam catatan historis Tiongkok, Shiji.
Menurut kitab Shiji[1], Lǎo Zǐ memiliki nama asli Lier (李耳; pinyin: LĭĚr), nama sopannya Boyang (伯阳) dan nama almarhum kehormatannya Dan (). Terdapat segolongan sarjana mengatakan Boyang dan Dan adalah nama sopannya[2]. Lǎo Zǐ (570-470 SM)[3], dilahirkan di Provinsi Ku(), Chuguo (楚国), sekarang dikenali Provinsi Henan. Ia merupakan ketua pustakawan Chuguo pada zaman dinasti Zhou, di mana pada masa jabatannya, ia banyak mendapat manfaat dengan membaca kitab-kitab serta catatan-catatan historis, sehingga ia mencapai keluasan wawasan.
Kemasyhuran Lǎo Zǐ luas tersebar sehingga kepada Kong Hu Cu. Menurut catatan Zhuangzi, Kong Hu Cu pernah berjumpa dengan Laozi untuk meminta pengajaran akan kesopanan[4]. Terdapat lukisan-lukisan berdasarkan kisah ini. Berdasarkan catatan ini, diperkirakan bahwa Kong Hu Cu berumur lebih muda kurang lebih 20 tahun daripada Lǎo Zǐ[5]. Menurut rujukan Zhuangzi[6], Kong Hu Cu pertama kali berjumpa dengan Lǎo Zǐ pada usia 17 dan kemudian pada usia 34, dan perjumpaan ketiga kalinya di Xiangyi (相邑) serta semasa berusia 51 dan 66.
Pada waktu keruntuhan Dinasti Zhou, Lǎo Zǐ meletakkan jabatan dan meninggalkan negerinya dengan koaknya. Ketika ia tiba di Kastam Hangu (函谷关), Guan Yixi (关尹喜) memintanya meninggalkan filsafat dalam bentuk tulisan. Atas permintaan ini, ia menciptakan dua karya yang berjudul Dao dan De sebelum meninggalkan Chuguo. Kedua kitab tersebut digabungkan dan diperkenalkan sebagai Daode Jing yang berisikan 5000 huruf Tionghua dalam 81 bab.
Kami berterimakasih kepada dosen yang mengajar mata kuliah ini yaitu Bpk. Ferry Yang Ph D yang telah memberikan banyak hal kepada kami selama kurang lebih satu semester. Semoga beliau tetap diberi kekuatan dalam mengajar dan melayani. Kami menyadari banyak kekurangan dalam pembuatan blog ini, atas segala kekurangannya kami minta maaf. Kami juga menerima saran yang mendukung demi kemajuan pendidikan.Kami berharap blog ini dapat berguna bagi yang membaca dan dapat menambah pemahaman tentang filsafat dan teologi. Akhir kata kami ucapkan terimakasih. Tuhan Yesus memberkati.

Etika Dalam Daoisme (Taoisme)


            Di dalam tulisan Lao Tzu, Sebagian besar diantaranya diringkas ke dalam perbedaan antara pasivitas dan aktivitas, antara kelembutan dan kekerasan, dan antara kompetisi dan kesabaran. Ia kemudian berpendapat, bahwa pasitivitas itu lebih menguntungkan daripada aktivitas. Kelembutan lebih berguna daripada kekerasan, dan kesabaran lebih berguna daripada kompetisi. “Memahami kemuliaan”, demikian tulisnya, “tetapi sekaligus menjaga kerendahatian, memahami yang putih tetapi juga menjaga yang hitam.” Karena orang mudah sekali jatuh ke dalam hal-hal yang berlawanan dari yang diinginkannya, maka adalah lebih baik bagi setiap orang, jika ia mulai dengan hal-hal yang tidak diinginkannya, lalu bergerak ke hal-hal yang diinginkannya. “Untuk memperoleh sesuatu”, demikian Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama memberi.” Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus pertama-tama memulai dengan yang berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan demikian, esensi dari pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan dari titik yang secara diametral bertentangan dengan tujuan itu.”
Dari kesimpulan di atas, kita bisa menarik poin bahwa inti dari etika Taoisme yang ditawarkan oleh Lao Tzu adalah wu-wei, yang dalam bahasa Cina secara literer berarti xiaogan (tidak adanya tindakan). Hal ini tidak berarti bahwa orang murni tidak melakukan apapun secara mutlak. “Wu-wei”, dengan kata lain, wu-wei berarti pembatalan dan sekaligus pembatasan tingkah laku manusia, terutama tingkah laku di dalam dunia sosial. Ada beberapa tingkatan wu-wei di dalam Taoisme, mulai dari wu-wei sebagai tidak melakukan apapun, melakukan tindakan seminimal mungkin, tindakan pasif ke dalam dunia sosial, sikap menunggu perubahan alami dari hal-hal yang ada, dan yang terakhir ini sering juga disebut sebagai bertindak alami (acting naturally). Etika wu-wei adalah etika non-tindakan. 

Lao Tzu sendiri sangat yakin, bahwa wu-wei akan dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. “Semakin besar hukum dan tatanan diberlakukan”, demikian tulisnya, “maka semakin banyak pencuri dan perampok, oleh karena itu seorang bijak akan berkata: saya tidak bertindak apa-apa dan orang itu sendiri akan berubah.” Lawan dari sikap wu-wei adalah yu-wei, atau apa yang disebut sebagai bertindak. Yu-wei ini menciptakan hukum dan tatanan, serta dengan itu juga menciptakan para pencuri dan orang-orang yang melanggar tatanan. Sementara kontras dengan itu, wu-wei menciptakan kemakmuran bersama, harmoni, dan kedamaian. “Sebuah kerajaan”, demikian tulis Lao Tzu, “seringkali diberikan kepada orang yang tidak melakukan tindakan. Jika orang melakukan tindakan, maka ia tidak cukup memadai untuk memenangkan sebuah kerajaan.” Kehidupan yang ideal hanya dapat dicapai, jika orang menerapkan etika wu-wei ini di dalam hidupnya.
 Dengan menerapkan wu-wei di dalam hidupnya, orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan kelembutannya. Inilah keuntungan dari sikap wu-wei. “Hal yang paling lembut di dunia”, demikian Lao Tzu, “dapat melampaui hal yang paling keras di dunia melalui inilah saya mengetahui keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.” Di dalam dunia manusia, menurutnya, negara-negara yang kuat dapat dengan mudah mendeklarasikan sebuah perang. Akan tetapi pada akhirnya, negara-negara yang lebih lemahlah yang akan menang. Ini adalah kebenaran yang nyata, bahwa kelemahlembutan dapat melampaui kekerasan. Walaupun begitu nyata, tetapi orang begitu cepat lupa dengan hal ini, sekaligus begitu sulit untuk mempertahankan kesadaran semacam ini.
Dalam Daoisme dikenal tiga kebajikan utama (The Three Jewels) yang masing-masing adalah kasih sayang (compassion), sikap tidak berlebihan (moderation), dan kesahajaan (humality).
Kita sering kali ingin mempelajari segala sesuatu di alam semesta ini. Namun pandangan Daoisme adalah bagaimana mungkin otak yang hanya beberapa kubik dapat menampung seluruh pengetahuan tentang alam semesta yang begitu besar ini? Kebenarannya ialah otak hanya mampu menyimpan hal-hal yang dapat membuat manusia bertahan terhadap alam, dan mungkin diberikan potensi tambahan untuk dapat menikmati hidup yang bahagia dan mengejar mimpi dan aspirasi kita. Manusia tidak perlu mengontrol alam. Sama seperti dirimu tidak perlu dikontrol oleh orang lain, hanya dirimu sendiri yang mengontrolnya. Demikian juga alam tidak perlu diatur oleh manusia, maka hendaknya manusia tidak berkuasa mengubah-ubah kondisi alam. Alam memiliki aturannya sendiri.
Sikap tidak berlebihan (moderation) di sini sangat terkenal dengan Wu Wei. Wu Wei diasosiasikan air yang bersifat mengalir jika tempat hadirnya diganggu. Air itu lembut dan lemah, tetapi dapat memindahkan daratan dan mengikis batuan. (Kusumohamidjojo, 2010, hal. 156).  Arti harafiah dari Wu Wei itu sendiri adalah ‘tanpa tindakan’. Daosime sangat menjunjung tinggi hal ini. Saat ada hukum maka akan banyak kejahatan atau tindak kriminalitas. Jadi lebih baik diam dan semuanya akan berubah.
Wu-Wei sangat menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas, sikap mengalah, dan ketenangan. Lao Tzu berkeyakinan bahwa Wu Wei dapat menciptakan keharmonisan masyarakat. Di dalam pandangan filsafat Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan kekacauan. (http://rezaantonius.wordpress.com/2010/07/07/etika-taoisme-memperkenalkan-filsafat-taoisme/).
Dalam pandangan Kristen hal ini sangat berlawanan, di mana harus lah ada hukum yang mengatur seluruh tatanan masyrakat. Bahkan saat Tuhan memerintah Israel secara langsung, Tuhan memberikan 10 Hukum Allah bagi bangsa Israel. Tuhan juga tidak diam saja saat Israel ada dalam perjalanan di padanag gurun dan dalam peperangan.
Humility memiliki arti melakukan pekerjaanmu dengan tidak dipengaruhi hal-hal dari luar. Ini berarti mengerjakan bagian hidupmu dari waktu ke waktu. Kesuksesan terjadi setiap saat kamu melakukan hal ini, Ini bukanlah sesuatu yang dapat terjadi saat kamu melakukan lebih dari itu.  Karena dia mengisi dengan dirinya sendiri, dia tidak membutuhan tambahan lain. Karena dia menerima dirinya sendiri, maka seluruh dunia menerimanya. (Tao Te Ching (Mitchell translation), Chapter 30).
Jika mengkritisi dari apa yang diungkapkan di atas maka Daoisme tidak menerima orang lain atau hal lain untuk kepenuhan dirinya. Daoisme mencukupkan dirinya dengan dirinya sendiri. Prinsip ini bertentangan dengan nilai Kekristenan. Sebagai orang percaya, kita membutuhkan orang lain. Alkitab mengatur beberapa hal untuk saling mengasihi sesama manusia. Dan lebih daripada itu, manusia membutuhkan Tuhan yaitu keselamatan dari Tuhan.


Referensi:
K. Budiono. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar Komprehensif. Alasutra: Jogjakarta.
Retrieved on 25 november 2010 from
retrieved on 25 November 2010 from

Lao Tzu, The Purpose Of Life


Lao Tze adalah salah seorang filsuf dari negeri China, yang terkenal dengan ajarannya yaitu mengenai Daoism. Agama Dao memiliki doktrin mistis yang berisikan kepercayaan untuk menjadi dewa, agama ini lebih bersifat kemanusiaan, dan berpotensi memenuhi keperluan rohaniah manusia. Dalam agama Dao, Laozi didewakan sebagai Taishanglaojun. kitab-kitab Dao de Jing dan Zhuangzi menjadi kitab suci dalam agama Dao.
"Dao"  yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda yang ada di alam semesta. Dao yang berwujud dalam bentuk benda hidup dan kebendaan lainnya adalah De. Gabungan Dao dengan De dikenal sebagai Taoisme yang merupakan landasan kealamian Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan bersifat abadi. Keabadian manusia terwujud disaat seseorang mencapai kesadaran Dao, dan orang tersebut akan menjadi dewa Yin dan Yang, Yinyang saling melengkapi untuk menghasilkan tenaga atau kekuatan. Kekuatan tersebut bersumber dari jutaan benda di dunia. Setiap benda di alam semesta yang berupa benda hidup ataupun benda mati mengandung Yinyang yang saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.
Menurut pandangan Taoisme, hidup manusia sudah digariskan oleh ‘langit’. Manusia sudah memiliki jalannya masing-masing. Yang harus dilakukan manusia hanya meneliti jalan itu dan mengikuti jejak itu tanpa coba memaksakan pandangannya yang sempit, serta tanpa kehendak ingin menyelewengkan diri dari yang alamiah demi keuntungan pribadi. Sikap semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei, yang artinya tidak mencampuri. Wu-wei dapat juga diartikan ‘tidak berkeinginan’. Manusia dalam pandangan Taoisme, harus menghilangkan keinginannya, dan mengikuti jalannya proses alam tanpa mencampuri proses itu.
Menurut Taoisme, apabila manusia menjadi sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat dia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita. Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya. Meskipun demikian, Taoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketentraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa kemelekatan terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada kemelekatan terhadap harta tersebut, maka sia-sia saja. Karena itu buanglah kemelekatan terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda harus digunakan untuk kepentingan sosial. Dengan demikian manusia tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta.
Jika manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak perlu takut akan kematian. Kematian adalah sebuah proses alam dan manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak perlu takut atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan manusia kepada Dao.
Jadi dalam Taoisme berdasarkan pengajaran filosofi dari Lao Zi manyatakan secara jelas bahwa tujuan dari kehidupan di dunia ini ialah hidup dalam keabadian berdasarkan pola Dao, yaitu hidup dengan ketenangan dan alamiah. Setiap orang yang mau hidup dalam keabadian maka ia harus hidup bersahabat dengan alam, mengikuti jalan hidupnya dan tidak memaksakan diri di luar dari kemampuannya.
Ajaran Dao juga memiliki pengertian the way to the sage atau jalan suci yaitu jalan menuju ke surga (heaven). Lao Tze pun mengatakan bahwa segala sesuatu yang natural itu jauh lebih baik, sehingga manusia harus mengikuti alam ini tanpa memanipulasi segala sesuatu yang telah ada secara natural.
Tujuan hidup dari seseorang menurut ajaran beliau ialah bahwa seseorang hidup untuk mencapai keabadian yaitu melalui jalan suci yang ia katakan (the way to the sage) atau Dao itu sendiri, sehingga setiap manusia yang hidup di alam ini harus mencapai jalan suci tersebut (heaven). Dalam ajarannya, ia mengatakan bahwa surga atau heaven (menurut ajarannya) yang mengatur hidup dan kehidupan yang terjadi didalam dunia ini atau dapat dikatakan sebagai mandat dari surga.
 Namun dari ajarannya mengenai tujuan hidup seseorang, dimana harus mencapai keabadian melalui jalan menuju ke surga (the way of heaven), ia juga mengatakan dalam ajarannya bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat mengerti jalan menuju ke surga untuk mencapai keabadian tersebut (the way of heaven). Jika kita melihat dari sudut pandang teologi mengenai ajaran Lao Tze tentang tujuan hidup, dapat dikatakan hampir sama. Para pengikut Lao Tze diajarkan bahwa manusia hidup harus mencapai keabadian atau kesempurnaan melalui jalan menuju ke surga, sedangkan kita sebagai orang Kristiani memiliki tujuan hidup di bumi ini untuk memuliakan Allah, yang mana pada akhirnya kita pun juga akan beroleh kehidupan yang kekal atau dapat dikatakan kesempurnaan/ keabadian. Namun yang menjadi perbedaan dari keduanya ialah dimana ajaran Lao Tze mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang dapat mengetahui jalan menuju ke surga untuk mencapai suatu kehidupan yang abadi, sedangkan didalam Kekristenan, jelas dikatakan dalam Yohanes 14:6, bahwa “Akulah jalan dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, sehingga kita semua umat Kristen didunia pun tahu bahwa hanya melalui Yesuslah kita dapat mencapai kehidupan yang kekal tersebut (heaven), hanya percaya dengan iman bahwa Yesus Kristus adalah sang Juruselamat dunia, yang telah rela mati di kayu salib untuk menebus dosa setiap manusia maka setiap orang yang percaya akan memperoleh kehidupan yang kekal (Yoh 3:16).
Pada dasarnya ajaran Lao Tze adalah baik, ia mengatakan bahwa hidup dan kehidupan ini telah diatur oleh surga dan kita sebagai manusia memiliki tujuan hidup untuk mencapai keabadian melalui jalan suci. Manusia tidak boleh merusak apa yang telah dimandatkan dari surga kepada dunia, jadi manusia harus ikut secara natural. Namun yang kurang dari pengajaran ini ialah Lao Tze mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang dapat mengerti jalan ke surga itu, sedangkan kita sebagai orang Kristen telah menemukan jawabannya, yaitu hanya melalui Yesus Kristuslah kita dapat mencapai jalan ke surga menuju kehidupan yang abadi.

Lao Tzu dan Natur Manusia


Humanisme menurut Pence dalam bukunya yang berjudul A Dictionary of Common Philosophical Terms menyebutkan bahwa humanisme berarti beberapa pandangan yang menekankan pentingnya wibawa, kemakmuran dan nilai dari seorang manusia, secara khusus dalam kontrasnya terhadap pandangan teologi dan supra natural. Lalu bagaimana dengan definisi natur manusia dalam terminologi filsafat? Natur manusia menurut Clark  dkk. dalam buku yang berjudul 101 Key Terms in Philosophy and Their Importance for Theology adalah esensi dari pribadi manusia yang terpisah penjelasannya dari definisi binatang dan malaikat. Dengan kata lain, natur manusia adalah sifat yang memang sudah ada sejak manusia dilahirkan.
Ajaran Tao menuntun manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada alam. Tao menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik. Baik jika dalam menjalani hidup sejalan dengan alam semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami. Sifat manusia akan jahat jika manusia memberontak, menentang, dan bermusuhan dengan alam semesta. Hal ini dikarenakan manusia merupakan perwujudan dari alam bukan sebagai penakluk alam, yakni menjadi peserta di alam bukan menjadi pemangsa alam. Manusia sebagai perwujudan dari alam terus mengungkapkan keindahan, kebenaran, dan kebaikan alam semesta; dan mengartikulasikannya dalam pengolahan moral atau alam dari kehidupan manusia atau sifat manusia.
Manusia adalah bagian dan bidang dari Tao, hanya ketika manusia kehilangan makna Tao dan penghargaan terhadap Tao dalam kehidupannya yang sesungguhnyalah manusia menjadi terasing dari Tao dan aktivitas-aktivitasnya menjadi sarana pengasingan diri yang secara tak terelakkan akan menghasilkan hilangnya identitas manusia yang sejati dengan cara penghancuran diri.
Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta. Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, orang akan sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta. Pada tahap ini, orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam kesatuan dengan Tao. Ini adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan manusia.
Ajaran Taoisme menitikberatkan keharmonisan dengan alam semesta, mencoba mewujudkan keharmonisan daripada hubungan kehidupan manusia dengan peraturan alam. Konsep manusia dalam Taoisme, manusia dipandang sebagai subjek. Subjek yang harus dihargai harkat dan martabatnya. Subjek (manusia) akan memiliki sifat bawaan yang baik jika sejalan dengan alam semesta. Lao Tse juga menyajikan bahwa natur hidup manusia bernama orang bijak. Orang bijak adalah orang yang tercerahkan karena dia tahu sendiri dan dia suka menunjukkan bagaimana dia tahu. Orang bijak suka dengan ketenangan dan Tao melakukan kebijakkan itu di alam semesta.
Sebagai orang Kristen kita dapat melihat beberapa kegagalan dalam filsafat yang dipegang oleh ajaran Lau Tse dalam konsep natur manusia yang dia ajarkan di dalam Tao yang pertama Tao menyebutkan bahwa natur manusia atau sifat yang memang sudah ada sejak manusia dilahirkan dan yang menjadi sifat bawaan seseorang adalah baik adanya, Di dalam surat yang dituliskan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, yaitu dalam Roma 3 : 23 berkata : “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” mengapa demikian akibat dari kejatuhan manusia pertama di dalam dosa yaitu Adam, setiap manusia yang dilahirkan dari darah dan daging memiliki natur dosa yang diwariskan dari nenek moyangnya, dan setiap manusia yang lahir baru menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya semasa hidupnya harus terus melawan natur dosa yang dia miliki dan terus diperbaharui dalam budinya, karena itu pernyataan Lau Tse dalam ajaran Tao nya bukanlah merupakan suatu kebenaran yang absolut karena buktinya dari keturunan Adam sampai sekarang dosa selalu ada dimana-mana bahkan di tempat-tempat yang menurut mereka adalah suci sekalipun, karena manusia dengan kekuatannya sendiri tidak akan mampu untuk mengalahkan natur dosa yang sudah diwariskan kepadanya.
Kegagalan yang kedua dalam ajaran Lau Tse dalam Tao yaitu pernyataan yang menyatakan bahwa manusia merupakan perwujudan dari alam bukan sebagai penakluk alam. Kita dapat mengkritisi hal ini melalui kitab awal yaitu Kejadian, sesuai dengan amanat agung Allah Bapa kepada manusia di dalam Kejadian 1 : 26, Berfirmanlah Allah : “ Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Yang pertama melalui ayat ini kita tahu dan percaya manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang sempurna tetapi bukan perwujudan dari alam, yang pada esensinya nilai diri dan keberadaan manusia itu lebih tinggi harkat dan martabatnya dibandingkan yang ada di alam semesta ini. Yang kedua kita dipercayakan Tuhan untuk menjadi seorang penakluk bumi, yang berkuasa untuk mengelola atas ciptaan- ciptaan Tuhan yang lain.
Kegagalan yang ketiga dalam ajaran Lau Tze dalam Tao yaitu dia menyajikan bahwa natur hidup manusia bernama orang bijak. Orang bijak adalah orang yang tercerahkan karena dia tahu sendiri dan dia suka menunjukkan bagaimana dia tahu. Di dalam kitab Amsal 1 : 7 berkata “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”, manusia di dalam keberdosaanya melakukan hal-hal yang keliru, jahat dan menyimpang dari kebenaran Allah, Amsal menyatakan bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat yang sejati, jadi sulit bagi seseorang untuk menjadi bijaksana jika dia mengandalkan kekuatannya sendiri karena kecenderungan manusia dalam keberdosaannya ialah bengkok hati dan jalan hidupnya sesat hanya orang-orang yang mengenal Tuhan yang benar yaitu Yesus Kristus yang takut dan mengasihiNya lah yang bisa menjadi orang yang berhikmat dan bijaksana oleh karena pertolongan dan kasih karuniaNya.

Disscusion about God, Kritik terhadap Lao Tse

Dalam filsafat timur, pembahasan tentang Tuhan tidak seperti di filsafat barat yang pada perkembangannya sampai kepada meniadakan Tuhan di dalam kehidupan manusia. Salah satu filsuf yang menjelaskan bahwa Tuhan ada adalah lao Tse. Taoisme sangat jelas tentang Allah.
William Gerber menuliskan di bukunya the deepest question as you can ask about God: as answered by the world’s yaitu pernyataan lao tse yang menyatakan bahwa: it is the way of heaven not to strive, and yet it knows how to overcome; not to speak and yet it knows how to obtain a response; it calls not and things come of themselves.
Pernyataan ini sangat jelas mengatakan bahwa Allah adalah penguasa alam semesta yang memiliki kuasa yang tidak terbatas. Lao tse berpandangan bahwa Allah adalah satu yang kita tidak dapat dengar dan tidak bisa sentuh. Dia adalah penguasa tertinggi yang besar. Tidak ada yang terjadi tanpa dengan kebaikan-Nya. Secara Kristiani pandangan Lao Tse ada yang benar, namun tidak lengkap. Pandangan lao tse dapat dibenarkan melalui penyataan umum. Allah menyatakan diriNya kepada semua manusia melalui ciptaan, hal inilah yang dinyatakan kepada Lao Tse. Hal yang mendasar dari taoisme tentang Tuhan adalah tao.  Tao artinya jalan. Pada awalnya Tao berarti jalan, kemudian digunakan dalam filsafat untuk menunjuk pada jalan alam, hukum-hukum yang mengatur alam. Tao juga berarti tujuan hidup dan kaidah moral. Menurut Tao, pengalaman mistik itu hasil daya upaya manusia. Mistisisme bukanlah hal yang mudah. Pengalaman mistisisme berarti orang masuk ke dalam suasana hening yang mendalam dan sulit diungkapkan dengan kata-kata karena kata-kata hanya mampu menjaring dan mengungkapkan apa yang dari luar diri manusia.
Ajaran Taoisme mengenai mistisisme haruslah didasarkan pada pengertian mengenai Tao. Tao adalah dasar segala kejadian. Tao adalah dasar segalanya tapi berada di luar dan di atas apa yang terjadi. Dia tidak teserap dalam kejadian itu. Lao Tse dalam kitabnya mengatakan:
 There was something undifferentiated and yet complete, Which existed before heaven and earth. Soundless and formless, it depends on nothing and does not change. It operates everywhere and is free from danger. It may be considered the mother of the universe I do not know its name; I call it Tao”.
Dia proto personal. Yang Ada ada dalam dia, tetapi dia tidak termasuk Yang Ada sehingga dia disebut “Tidak ada.” Kenyatan terdalam “ada’ dan “tidak” adalah SATU. Tao mengajarkan adanya unsur terdalam yang mencakup segala unsur yang transenden, tak dapat diungkap dengan pengertian biasa, dan pengetahuan biasa. Tao hanya bisa dijangkau lewat perenungan mendalam yang ke luar dari pengalaman pasrah. Kepasrahan adalah unsur penting dalam mistisisme.
Dalam mazmur 47:7 dikatakan: sebab Allah adalah Raja seluruh bumi, bermazmurlah dalam nyanyian dan pengajaran. Seperti yang telah dikatakan di atas tadi, lao tse memahami Allah secara umum, prinsip ini sama dengan Kekristenan. Tuhan yang pencipta adalah Tuhan yang juga mengatur alam itu sendiri dan memiliki kuasa atas bumi ini, yaitu Allah Tritunggal.
Ada sebuah aliran Kristen yang menggabungkan ajaran Taoisme dengan kekristenan. Mereka mengadaptasikan Firman dengan tao. Sebuah kalimat dari aliran tersebut adalah:
In the beginning was the Tao, and the Tao was with God, and the Tao was God. The Tao was in the beginning with God. All things were made through the Tao, and without the Tao nothing was made that was made. In the Tao was life, and the life was the light of men. And the light of the Tao shines in the darkness, and the darkness did not comprehend it. The Tao was in th world, and the world was made through the Tao, and the world did not know the Tao. The Tao became flesh and dwelt among us, and we beheld the Tao's glory. (http://www.sanghaofthespirit.org/christian_tao.htm).
Kalimat ini adalah Yohanes 1:1 yang diadaptasikan menjadi “Christian Tao”. Ini merupakan kekeliruan dimana secara tidak langsung ajaran ini menyatakan bahwa tao adalah Allah yang benar. Di dalam konteks iman Kristen, Allah yang kita kenal adalah Allah yang dituliskan dalam Alkitab. Yaitu Allah yang menyatakan diri melalui Yesus Kristus, yang turun menjadi manusia untuk melakukan penebusan atas dosa manusia. Perbedaan yang sangat terlihat dari konsep Ketuhanan Taoisme dan Kekristenan adalah perwujudan dari Allah itu sendiri. Di dalam taoisme, tao bergerak bebas dan berkuasa atas bumi, namun Tao tidak mewujudkan diri menjadi manusia, sementara di dalam kekristenan Allah turun menjadi manusia. Dari perbedaan itu terlihat bahwa Tao yang diyakini sebagai allah tidak melihat kekacauan yang terjadi di bumi pasca-penciptaan sebagai sesuatu yang harus diperbaiki melalui inisiatif dari allah sendiri, melainkan tao menekankan kepada kebaikan manusia untuk memperbaiki hal itu.
Jika dilihat dari pengajaran lao tse, sebenarnya konsep yang diajarkan tidak salah. Lao tse memandang bahwa tao yang disebut tuhan adalah sosok yang berkuasa,menciptakan alam semesta dengan segala yang ada, dan memiliki kendali atas bumi. Tao juga memiliki kekudusan yang dinyatakan dalam kitab Tao-te ching bahwasannya tao bebas dari bahaya . Hal ini adalah sebuah kebenaran karena Allah menyatakan hal ini melalui wahyu umum. Lao tse telah menerima wahyu umum dari Allah dan dengan sangat baik menjelaskan tentang hal ini.
Allah yang diwahyukan dalam wahyu khusus adalah Allah yang menyelamatkan. Allah turun mengambil rupa seorang hamba untuk menjadi pendamai antara Allah dan manusia yang telah rusak hubungannya oleh dosa. Kaisar Konstantin menyatakan sebuah pernyataan yang berbunyi: “In hoc signo vinces” yang artinya: tidak ada penaklukan tanpa salib, tidak akan ada kekristenan tanpa salib. Pusat dari kekristenan adalah salib, karena Allah yang menjadi manusia mati di kayu salib sebagai tanda penebusan dan sekaligus bentuk nyata kasih Allah yaitu kasih agape.
referensi:
Gerber. W. 1995. The deepest questions you can ask about God: as answered by the world's great thinkers. Rodopi: Amsterdam.
S. John. 2009. Allah, Dosa, Anda. Metanoia: Jakarta
retrieved on 28 November 2010 at 22.00 WIB

Lao Tzu, Teory of knowledge

Manusia adalah orang yang paling sulit diatur, karena dipengaruhi oleh pengetahuan. Manusia untuk dapat bijaksana adalah dengan tidak berbuat apa-apa.
Kalimat di atas, merupakan pernyataan Lao Tzu tentang pengetahuan. Bagi Lao Tzu, pengetahuan tidak penting sama sekali. Ketika manusia mempelajari tentang segala seusuatu yang ada di bumi, justru menimbulkan sisi jahatnya manusia. Seharusnya segala sesuatu dibiarkan begitu saja tanpa harus diatur oleh manusia, berkembang sesuai iramanya masing-masing. Segala sesuatu yang ada di alam akan bertumbuh dengan baik jika dibiarkan berkembang sendiri. Manusia dalam menghadapi alam dan hidup sehari-hari tidak perlu banyak bergerak atau campur tangan, tapi sebaiknya biarkan alam dalam peristiwa berkembang menurut iramanya masing-masing.
Dalam ajaran Lao Tzu, Ketika manusia menggunakan rasio untuk memahami alam, maka alam justru tidak menjadi semakin baik karena dalam pemahaman tentang alam ini manusia melakukan sesuai keinginannya sendiri. Hal ini menjadikan alam sebagai pemuas keinginan. Jika hanya satu orang manusia yang melakukan hal itu alam sudah rusak, apalagi jika hampir semua manusia di dunia melakukan hal itu. Dengan demikian pengetahuan tidaklah penting bagi kehidupan manusia.
Pada dasarnya, pemikiran Lao Tzu ini di dasarkan pada keinginan manusia untuk mengetahui apa yang ada di alam ini. Namun, Lao Tzu mengajarkan supaya  manusia jangan memaksakan kehendaknya sendiri dan ingin bertindak atas alam, karena dengan demikian merusak irama alam dan hasilnya justru menimbulkan keserakahan, kemarahan dan malapetaka (http://ordysmm.blogspot.com/2010/06/politik-menurut-lao-tzu-dan-aristoteles.html). 
Jadi, Menurut Lao Tzu dengan adanya pengetahuan membuat manusia mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Dari sini timbul pembatasan-pembatasan dan larangan untuk melakukan sesuatu. Dengan adanya larangan ini, kebanyakan manusia makin menjadi pelanggar akan pembatasan dan menjadikan alam tidak teratur. Dengan demikian Lao Tzu mengajarkan supaya manusia tidak memerlukan pengetahuan. Yang dibutuhkan manusia itu adalah berjalan mengikuti alur yang ditentukan oleh alam, berkembang sesuai alam.
Menurut kami dari ajaran ini, kita tidak bisa membatasi manusia untuk tidak mengetahui alam sekitarnya. Manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan pikiran. Oleh karena itu  manusia selalu punya rasa ingin tahu di dalam dirinya yang harus dipuaskan. Rasa ingin tahu yang membawa manusia punya kehendak untuk mencari tahu  hal-hal yang misteri di alam ini. Tetapi memang jelas bahwa justru karena manusia ingin mengetahui tentang alam, maka kelihatannya manusia menjadi perusak akan alam. Pengetahuan manusia sebenarnya tidak selamanya membuat alam akan menjadi rusak, akan tetapi sesungguhnya pengetahuan bisa dijadikan sebagai alat untuk  melestarikan alam ini.
Kita bisa melihat hal ini dengan jelas melalui pribadi Lao Tzu sendiri. Lao Tzu mengeluarkan banyak pendapat tentang pengetahuan, tapi sebenarnya dia sedang mengemukakan pengetahuannya. Tetapi pengetahuan yang dia miliki tidak membuat dia menjadi seorang yang serakah dan menjadikannya pribadi yang merusak alam, bahkan sebaliknya. Pengetahuan yang dia miliki membuat dia menjadi seorang yang menjaga agar alam tidak boleh dirusak.
Dalam Amsal 1: 7, mengatakan permulaan pengetahuan adalah takut akan Tuhan. Dari sini kita bisa melihat, bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang jahat dimata Tuhan. Karena dengan takut akan Tuhan kita mendapatkan pengetahuan. Setiap pengetahuan yang berasal dari Tuhan adalah pengetahuan yang baik, pengetahuan yang mengantarkan manusia untuk menjaga dan melestarikan alam. Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan pemikiran bukan sebagai penghias melainkan untuk digunakan dalam menghadapi dunia ini. Apa yang diciptakan Tuhan bukanlah sesuatu yang jahat tetapi baik adaanya, apalagi ketika Tuhan menciptakan Manusia yang serupa dan segambar dengan Dia, Tuhan mengatakan “SUNGGUH AMAT BAIK”(Kejadian 1: 31).
Untuk itu, pengetahuan bukanlah sesuatu yang merusak manusia. Namun, yang perlu kita ketahui manusialah yang membuat pengetahuan yang dia miliki menjadi jahat. Ketika manusia jatuh kedalam dosa, manusia menjadi pribadi yang self center. Mengakibatkan manusia hanya memikirkan dirinya sendiri, sehingga pengetahuan yang dia miliki digunakan untuk memuaskan nafsunya sendiri(http://forumkristen.com/komunitas/index.php?topic=29053.0). Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh Lao Tzu agar tidak secara rasio memikirkan dengan salah tentang keberadaan manusia dan apa yang harus dikerjakan oleh manusia.
Pada dasarnya manusia itu diberikan pengetahuan oleh Tuhan supaya ia tahu apa yang mesti ia perbuat dalam hidupnya dan bagaimana seharusnya ia berinteraksi dengan ciptaan-ciptaan yang lain. Tuhan sendiri yang adalah pengetahuan yang benar justru memperkenankan diriNYA kepadada manusia untuk manusia pelajari tentang pengetahuan yang benar itu. Artinya Tuhan melayakkan diriNYA juga sebagai Pencipta untuk dikenal dan diketahui oleh ciptaanNYA yang paling mulia.
Alam adalah tanggungjawab manusia untuk dipelihara. Tuhan telah memberikan kuasa kepada manusia untuk bertanggungjawab dalam pemeliharaan akan alam ini. setiap manusia yang sudah tinggal di dunia ini akan diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan terhadap segala sesuatu yang ia perbuat. Jadi, kalau manusia itu sendiri mengambil sikap yang pasif dan tidak ada rasa untuk mengerjakan segala sesuatu apa yang ada di alam dan memeliharanya dengan baik maka ia sama dengan orang yang diberikan 1 talenta dan tidak bertanggungjawab atas apa yang diberikan padanya untuk kelak dipertanggungjawabkan. Setiap manusia sudah diberikan kemampuan untuk mengerjakan bagian-bagiannya di alam ini dan itu harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Jadi, kalau dipandang dari sudut pandang teologi Kristen, maka ajaran Lao Tzu tentang pengetahuan sangat bertentangan dan tidak bisa diterima. Ia sama saja menjerumuskan setiap manusia masuk ke dalam dosa karena ia hanya melihat setiap hasil buruk dari reaksi manusia terhadap alam. Ia bukan justru mengarahkan supaya pengetahuan yang dimiliki manusia bisa digunakan untuk menjadikan alam lebih baik. Ajarannya mengarah kepada bagaimana supaya alam ciptaan menjadi baik dengan sendiri, sesuai dengan iramanya dan mengajarkan manusia untuk tidak melakukan mandat yang seharusnya manusia lakukan, yakni memelihara ciptaan-Nya.